Opini

Ramadhan, Wasilah Merawat Tradisi Khas Nusantara

Sab, 23 Maret 2024 | 14:30 WIB

Ramadhan, Wasilah Merawat Tradisi Khas Nusantara

Ilustrasi ramadhan. (Foto ilustrasi: NU Online)

Indonesia mempunyai lebih dari 300 suku bangsa atau kelompok etnik yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam sebanyak 244,41 juta atau 87,1 persen (Kemendagri, 2023). Dua fakta ini memunculkan tradisi unik dan khas di Nusantara saat menjelang dan selama bulan Ramadhan sehingga bulan suci tersebut menjadi wasilah (perantara, media, sarana) tersendiri untuk merawat tradisi khas muslim di Nusantara.


Beberapa tradisi lokal antara lain, bakar batu di Papua (ritual memasak bersama-sama dengan tujuan untuk bersyukur), Batahlil (mengirimkan doa kepada leluhur dan kerabat yang sudah meninggal), Selo Buto (tradisi menyambut malam Lailatul Qadar) di Maluku, Munggahan (berkumpul bersama kerabat dan bermaaf-maafan sebelum Ramadhan) di Jawa Barat.


Ada juga tradisi Suru Maca’ (membaca doa untuk leluhur menjelang Ramadhan) di Sulawesi, Junjung Pasaji dan makan barema di Nusa Tenggara Barat, Megibung (makan bersama dari satu wadah dan biasanya dilakukan pada hari ke-10 Ramadhan) di Bali, Tanglong (berlomba menghias mobil dan kapal dan menyalakan lampion untuk menyambut lailatul qadar) di Kalimantan Selatan, dan megengan di Jawa Timur.


Tradisi unik lainnya, yaitu Nyadran (berziarah ke makam leluhur) di Jawa Tengah, Padusan (mandi di sumber air yang dianggap kramat sebelum Ramadhan) di Boyolali, Dugderan (tari-tarian, tabuh bedug, dan karnaval) di Semarang, Nyorog (membagikan bingkisan ke keluarga dan tetangga) di Betawi, Malamang (membuat lamang saat Ramadan), Balimau (mandi dengan jeruk nipis menjelang Ramadan) di Sumatera Barat, bebantai di Jambi, Pacu Jalur (lomba dayung tradisional) di Riau, Meugang (memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga dan anak yatim) di Aceh, dan lain sebagainya.


Di lingkungan pesantren ada tradisi ngaji posonan atau pasaran, di mana para santri dari berbagai penjuru negeri nyantri di suatu pesantren pada bulan puasa. Di samping mengaji dan mengkhatamkan sejumlah kitab kuning, baik dalam bidang fikih, tasawuf, tafsir, hadits, dan lainnya, mereka juga berharap mendapatkan berkah dari para kiai (ngalap berkah).


Tradisi-tradisi Ramadhan itu berangkat dari pemikiran dan keyakinan yang sama bahwa Ramadhan adalah bulan yang sangat penting dan mulia. Melalui tradisi-tradisi itu kita ingin menyambut dan memeriahkan bulan Ramadhan semeriah mungkin.


Tradisi-tradisi Ramadhan itu tidak lahir begitu saja, tetapi muncul melalui proses budaya yang panjang, dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk pemahaman atau penafsiran masyarakat terhadap ajaran agama Islam, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sederhananya, tradisi dan Islam saling memengaruhi.


Islam dan Tradisi

Islam adalah agama yang komprehensif karena mengatur segala hal dalam kehidupan manusia. Dari urusan manusia sebelum lahir hingga setelah wafat. Dari urusan duniawi hingga ukhrawi. Dari urusan akidah, ibadah hingga muamalah. Dari hal-hal yang berkaitan dengan agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga tradisi. Prinsip Islam adalah kemaslahatan (maslahat) dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).


Nabi Muhammad punya empat sikap terkait tradisi Arab pra-Islam. Pertama, mengakomodasinya secara total (to accommodate totally) misalnya puasa Asyura. Kedua, mengadopsinya sebagian dan menolaknya sebagian (to accommodate particular) misalnya masyarakat jahiliyah punya empat model pernikahan, namun Nabi hanya mengadopsi satu model saja. Yakni laki-laki meminang seorang perempuan melalui walinya, memberikannya mahar, dan menikahinya. Islam menghapus tiga jenis pernikahan ala jahiliyah lainnya.


Ketiga, menyesuaikan dan memodifikasinya (to synchronize dan modify) misalnya modifikasi pelaksanaan aqiqah, teknik pelaksanaan sa’i, dan rekonstruksi pelaksanaan tawaf. Keempat, menolaknya atau mengoreksinya secara total (total refuse or correction) misalnya memanggil anak angkat dengan disertai nama bapak kandungnya, bukan dengan nama bapak angkatnya.


Apa yang dilakukan Nabi Muhammad itu juga dilakukan oleh Wali Songo. Misalnya, Sunan Kalijaga berdakwah dan menyampaikan nilai-nilai Islam melalui media wayang. Sunan Kudus mendirikan masjid dengan memadukan unsur Islam dan Hindu dan tidak memotong sapi, mengingat banyak masyarakat di sekitarnya masih menganut Hindu.


Dalam fiqih kita mengenal kaidah, “Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat (al-‘Adah muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar).” Jadi, sepanjang tradisi-tradisi menyambut dan memeriahkan Ramadan di seluruh wilayah Nusantara itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, tentu tidak menjadi masalah dan tidak perlu dipermasalahkan. Berbeda urusannya ketika tradisi tersebut menyalahi dasar-dasar agama, maka tradisi itu dilarang dalam Islam.


Islam tidak perlu dibenturkan dengan tradisi lokal karena Islam dan tradisi berjalan beriringan. Yang perlu kita lakukan adalah, bagaimana memadukan antara Islam, tradisi lokal, dan realitas yang ada di masyarakat.


Merawat Tradisi Lokal Khas Ramadan

Memang, tidak semua umat Islam Indonesia sepakat dan menerima tradisi Ramadhan yang sudah berkembang selama ini. Ada sebagian dari mereka yang menganggap bahwa tradisi-tradisi itu mubazir, sia-sia, dan tidak ada manfaatnya, menganggapnya salah, dan melarang orang lain untuk mempraktikkannya.


Nabi Muhammad pernah berkata, "Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang bagus". Ali bin Abi Thalib memahami hadits itu bahwa kita perlu menyesuaikan diri dengan masyarakat dan hal-hal yang melekat padanya, sepanjang itu tidak maksiat. Jadi, sepanjang tradisi itu tidak mengandung unsur kemaksiatan dan tidak menyalahi dasar-dasar ajaran Islam, sesama umat harus menjaga dan menghormatinya.


Karena bagaimana pun, melestarikan tradisi termasuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat itu sudah menjadi bagian dari kemajemukan Indonesia. Bahkan dalam konteks tertentu, menjaga tradisi Ramadan juga dapat memupuk toleransi dan merekatkan tali persaudaraan antar umat beragama.


Di Maluku misalnya, ada tradisi masohi di mana warga yang beragama Islam dan Kristen dari desa yang berbeda dan punya hubungan Pela yang sama membangun dan membersihkan rumah ibadah, baik masjid maupun gereja, secara bersama-sama dan bergotong-royong. Tradisi itu juga biasanya dilaksanakan menjelang hari-hari besar keagamaan seperti bulan Ramadan.


Kita perlu menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi tradisi-tradisi Ramadhan yang dipraktikkan di seluruh wilayah Nusantara agar tidak tergerus perkembangan zaman. Karena, di samping sebagai identitas dan jati diri bangsa, tradisi-tradisi itu bisa menjadi benteng terhadap pengaruh luar yang tidak sejalan dengan nilai-nilai lokalitas masyarakat Nusantara dan menjadi modal untuk membangun peradaban lebih humanis dan mulia di masa depan.


Tradisi memegang peranan penting dalam keberlangsungan dan kemajuan sebuah negara. Sebuah negara akan kuat jika punya akar tradisi yang kuat. Sebaliknya, negara akan lemah dan mudah dijajah oleh bangsa lain manakala tradisinya—yang merupakan jati diri bangsa—juga lemah.


Ahmad Zayadi, Direktur Penerangan Agama Islam Kemenag RI