Opini

Buen Vivir, Pintu Interkoneksi Pekerjaan Sosial dan Ber-Nahdlatul Ulama

Sab, 16 Maret 2024 | 21:08 WIB

Buen Vivir, Pintu Interkoneksi Pekerjaan Sosial dan Ber-Nahdlatul Ulama

lustrasi Harlah 1 Abad NU. (Foto: Instagram NU Online)

Pada 19 Maret 2024, pekerja sosial sedunia memperingati Hari Pekerjaan Sosial Sedunia /World Social Work Day (WSSD) dengan tema Buen Vivir, dengan tagline Masa Depan Bersama untuk Perubahan Transformatif


Buen vivir merupakan konsep yang berasal dari bahasa Spanyol yang secara sederhana berarti “kehidupan yang baik”, bedanya, konsep ini menekankan pada keterkaitan kebaikan individu dengan kebaikan lingkungannya. Dengan buen vivir, subjek kesejahteraan bukan saja atau melulu individu, namun individu dalam konteks sosial komunitasnya dan dalam situasi lingkungan yang unik.


Adanya slogan buen vivir ini menjadi pesan kepada pekerja sosial sedunia untuk senantiasa berkomitmen bertujuan untuk mewujudkan perubahan transformatif, mengagendakan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih maslahat dengan tidak mengabaikan konteks komunitas dan lingkungannya.


Menurut pandangan Zastrouw (2009), pekerjaan sosial adalah aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut


Keberadaan pekerja sosial sebagai sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial diakui dalam UU No 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, dan melalui UU tersebut, pekerja sosial menjadi profesi utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Satu dekade kemudian, UU No 14 tahun 2019 tentang Pekerja Sosial semakin mempertegas eksistensi dan peran pekerja sosial. 


Berdasarkan pengertian dari UU di atas, pekerja sosial merujuk pada seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai praktik pekerjaan sosial serta telah mendapatkan sertifikat kompetensi. Hal inilah yang membuat tidak bisa seorang mendaku dan mengaku sebagai pekerja sosial hanya karena kebetulan melakukan aktivitas pertolongan laiknya praktik pekerjaan sosial. 


Seorang pekerja sosial akan melakukan praktik pekerjaan sosial yang mencakup penanganan disfungsi sosial, perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan melakukan pengembangan sosial, yang itu semua dilakukan dalam rangka memulihkan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. 


Praktik pekerjaan sosial yang dilakukan merupakan bentuk penyelenggaraan pertolongan profesional yang terencana, terpadu, berkesinambungan dan tersupervisi.


Berangkat dari definisi dan fungsi pekerja sosial di atas, maka menjadi jelas betapa pentingnya profesi pekerjaan sosial dan begitu krusialnya peran pekerja sosial menjadi bagian dalam upaya, apa yang pernah disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu “memajukan kesejahteraan umum”, dan untuk melakukan apa yang pernah dikumandangkan oleh Nahdlatul Ulama dalam tagline harlah 1 abad, yaitu “merawat jagat membangun peradaban”.


Acapkali kita mendengar bahwa pembangunan manusia menjadi titik sentral pembangunan di berbagai bidang, dari ekonomi, sosial, budaya hingga politik. Pembangunan yang terfokus pada manusia mensyaratkan pencegahan dan penanganan disfungsi sosial mereka, sekaligus pemulihan dan peningkatan keberfungsian sosial mereka. Berbagai disfungsi sosial, seperti halnya kecanduan sampai keterlantaran, dari kebodohan sampai kemiskinan, akan menghambat partisipasi aktif manusia dalam pembangunan dan mengurangi kualitas kehidupannya. Ketika disfungsi sosial bisa teratasi, maka selanjutnya langkah pekerja sosial adalah memulihkan keberfungsian sosial klien, mencakup memfasilitasi pemberdayaannya, menguatkan kemandiriannya, dan mengukuhkan ketahanannya. 


Di sini kita menemukan ada irisan filosofis yang kuat antara tujuan NU dan tujuan pekerjaan sosial. Sebagai sebuah jam’iyah diniyyah islamiyyah ijtima’iyyah (perkumpulan sosial keagamaan Islam), NU bercita-cita menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia. Adapun tujuan Nahdlatul Ulama sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 ayat 2 AD NU Keputusan Muktamar ke-34 NU di Lampung tahun 2021 adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta. Sementara itu, dalam lingkup pekerjaan sosial sebagai profesi pertolongan, tujuan utama pekerja sosial adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, terutama untuk populasi yang paling rentan. 


Dalam konteks Islam, ada istilah kemaslahatan yang relevan menggambarkan tujuan dari kesejahteraan. Ide sentral dari syariat itu pada dasarnya mewujudkan kemaslahatan, yang oleh Imam al-Ghazali disebutkan sebagai mewujudkan kesejahteraan (sabîli al-ibtida). Dalam Al Mustashfa, ia menyebutkan bahwa hakikat maslahat itu pada dasarnya adalah menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk kemudaratan atau kerusakan.  


Maqshid al-sharî’ah sendiri bermuara pada kemaslahatan, yakni menegakkan kemaslahatan manusia selaku makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan bantuan dan uluran orang lain guna memenuhi hajat hidupnya. Syariat harus dilaksanakan lengkap dengan maqâshid-nya sehingga kemaslahatan bisa terwujud. Dengan demikian, maqâshid al-sharî’ah adalah sentral rujukan utama. Keluar dari standar maqâshid adalah sama dengan berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dan al-dhulmu (kezaliman). 


Sebaliknya, al-‘adl (setimbang/standar) merupakan lawan dari al-dhulmu dan al-ghuluw. Maka, menjadi penting untuk berpegang teguh pada maqâshid sebagai langkah untuk menjadi individu yang ‘adil dan menegakkan keadilan. Berbicara tentang keadilan, Al-Quran menegaskan bahwa perbuatan adil lebih dekat kepada takwa sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Ma'idah Ayat 8, manusia diperintahkan berlaku adil karena adil lebih dekat kepada takwa. Ketika dekat kepada takwa, maka tak ayal, akan memancing solusi dan rezeki. Sebagaimana ditegaskannya dalam Surah At Tholaq Ayat 2, barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.


Dengan semakin kompleksnya permasalahan sosial yang dialami Indonesia dengan populasi sebanyak 279 juta penduduk di tahun 2024 ini, terjadi tarikan yang kuat untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus mencegah kemudaratan. Singkat kata: ada banyak agenda yang menuntut intervensi mewujudkan kesejahteraan secara paripurna, secara komprehensif yang mencakup hulu hingga hilir demi mencapai visi Indonesia Emas 2045.


Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia, memiliki posisi strategis sebagai bagian dari arus besar untuk mewujudkan kemaslahatan individu dan universal, tidak hanya dalam skup jagat kecil tapi juga jagat besar, tidak hanya di level lokal juga global. NU juga diharapkan turut mengawal serta mengingatkan negara agar menjalankan mandat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum setiap anak bangsa.


Sukses dengan Halaqah Fiqh Peradaban di tahun 2022, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di tahun 2023 kemudian meluncurkan program baru, yaitu Gerakan Keluarga Maslahat NU –selanjutnya disingkat GKMNU. Program ini merupakan gerakan pengabdian NU untuk masyarakat lapis paling bawah di tingkat ranting atau desa. Ini merupakan ikhtiar NU untuk hadir di tengah-tengah masyarakat paling bawah dan manfaatnya bisa dirasakan langsung di lapis akar rumput Nahdliyin. GKMNU misalnya, menyasar 6 dimensi program yang mencakup upaya mencegah disfungsi sosial dan menopang keberfungsian sosial individu dalam bingkai keluarga, seperti program Relasi Maslahat; Keluarga Sejahtera; Keluarga Sehat; Keluarga Terdidik; Keluarga Moderat; dan Keluarga Cinta Alam.


Keluarga menjadi skup penting bagi keberlangsungan dan tumbuh kembang individu, dan dalam praktiknya, intervensi pekerjaan sosial tidak hanya menyasar individu melainkan juga menjadikan keluarga sebagai lokus intervensinya. Bahkan menjadi satu metode intervensi tersendiri di level mikro, yaitu intervensi individu dan keluarga. Hal ini sesuai karakteristik pembeda pekerjaan sosial dengan aktivitas profesi lainnya, yaitu penekanannya pada model orang-dalam-lingkungan (person in environment) dan penekanannya pada keadilan sosial.


Dengan jumlah 68,754 pekerja sosial se-Indonesia (UNICEF, 2020), dan lebih dari 30 program studi di tingkat perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan pekerjaan sosial yang tergabung dalam ASPEKSI (Asosiasi Pendidikan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial Indonesia), harapan untuk terus mengejawantahkan praktik pekerjaan sosial dengan menghadirkan dan melibatkan pekerja sosial dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat semakin menemukan artinya.


Saat ini cakupan praktik pekerjaan sosial terentang di berbagai bidang. Profesi pekerja sosial mulai bisa ditemukan di berbagai setting, mulai dari pekerja sosial sekolah, pekerja sosial disabilitas, pekerja sosial koreksional (penjara), pekerja sosial industri, pekerja sosial medis, pekerja sosial anak, pekerja sosial masyarakat, hingga pekerja sosial kebencanaan.  


Aksi strategis NU dengan mulai banyak menggerakkan program sosial keumatan akan semakin mempertegas identitas NU sebagai jam’iyah diniyyah islamiyyah ijtima’iyyah, menguatkan langkah NU kembali ke Khittah 1926, dan menjadi kontribusi konkret untuk merawat jagat membangun peradaban. Sinergitas dengan prinsip dan tujuan pekerjaan sosial menjadi sesuatu yang bisa ditawarkan. Buen vivir sebagai bonum commune atau kebaikan bersama, yang menjadi tema Hari Pekerjaan Sosial Sedunia yang diperingati 19 Maret 2024 ini menjadi pintu sekaligus titik temu NU yang bertujuan menciptakan kemaslahatan bersama dan rahmat bagi semesta dengan praktik dan metode pekerjaan sosial untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Mengulang dari pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf bahwa kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) merupakan mandat peradaban untuk menjamin keselarasan antarumat manusia, dan spirit buen vivir memiliki koherensi dengan semangat tersebut. 


Sebuah pesan disajikan untuk mulai menjalin interkoneksi, misalnya dengan meminjam teori klasik sistem ekologi Bronfenbrenner (1979), insan pekerja sosial bisa melihat NU sebagai mikrosistem dimana individu Nahdliyin berinteraksi, menjalin relasi dan memberi makna di dalamnya, dan juga melihat NU sebagai makrosistem dimana NU menyediakan seperangkat norma, standar nilai, hingga filosofi etik yang mengacu pada Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang berprinsip tawassuth (sikap di tengah-tengah), tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus), dan tasamuh (toleransi). Selain itu, mengingat besaran dan pengaruh NU, pekerja sosial bisa melihat organisasi NU sebagai eksosistem dimana NU bisa menjadi mitra progresif dalam melakukan advokasi kebijakan maupun gerakan sosial. Demikian pula sebaliknya, NU mulai perlu mengapresiasi keberadaan profesi pekerja sosial dan perkembangan kajian atau studi pekerjaan sosial yang semakin dikenal masyarakat, dan melihatnya sebagai mitra potensial untuk pencapaian tujuan NU, kemaslahatan bersama dan rahmat bagi semesta, dimana agenda kesejahteraan sosial termasuk di dalamnya penanganan problem sosial, menjadi kunci merawat jagat dan eskalator membangun peradaban. Ada banyak pintu menuju interkoneksi, dan semangat buen vivir menjadi pijakan untuk sebuah simpul antara pekerjaan sosial dan ber-NU.


Penulis adalah Ketua PCINU Amerika Serikat-Kanada, Kandidat Doktor Social Work McGill University, Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta