Nasional

Rais ‘Aam PBNU Ungkap Model Pesantren di Zaman Rasulullah

Jum, 10 Mei 2024 | 07:00 WIB

Rais ‘Aam PBNU Ungkap Model Pesantren di Zaman Rasulullah

KH Miftachul Akhyar saat hadir pada Halal bi Halal PWNU Lampung di Tulang Bawang, Kamis (9/5/2024). (Foto: tangkapan layer Youtube PWNU Lampung)

Tulang Bawang, NU Online
Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengatakan bahwa pondok pesantren adalah benteng terakhir pendidikan agama bagi generasi penerus. Ia mengungkapkan bahwa sistem pendidikan pesantren sudah ada sejak zaman Rasulullah saw yang kemudian dicontoh oleh Wali Songo di Nusantara.

 

“Pada zaman Rasulullah Saw ada sahabat Abu Hurairah yang mondok pada Rasulullah yang diikuti oleh berbagai teman dari mancanegara,” ungkapnya.

 

“Jumlahnya mulai 70-300 bahkan ada yang mengatakan sampai 400,” imbuhnya saat hadir pada Halal bi Halal Keluarga Besar Nahdlatul Ulama (KBNU) Provinsi Lampung di Pondok Pesantren Darul Ishlah, Kabupaten Tulang Bawang, Kamis (9/5/2024)

 

Para santri ini lanjut Kiai Miftach, ditempatkan di ash-Shuffah atau serambi Masjid Nabawi yang berada di bagian belakang Masjid Nabawi. Tempat ini diberi atap dan disediakan bagi orang asing yang berada di sana, yaitu mereka yang tidak punya rumah atau kerabat. 

 

Hidup mereka bergantung pada Rasulullah. Mereka tidak membawa bekal materi dunia dan hanya berbekal pakaian yang dikenakannya. Merekalah yang meramaikan jamaah di Masjid Nabawi. Mereka memilih hidup zuhud beribadah siang malam, dan mendalami ilmu agama. Kedekatan mereka dengan Rasulullah saw yang begitu intensif, membuat mereka tidak hanya mendapat bimbingan ruhani, tetapi juga menjadi periwayat hadits terkemuka.

 

“Hidup mereka hanya untuk ngaji dan ngaji, tidak mikir dunia,” ungkapnya.

 

Melihat perilaku Ahlussuffah ini, orang-orang munafik sampai mengira bahwa mereka adalah orang-orang kaya yang tidak membutuhkan uang dan materi dunia karena mereka tidak pernah bekerja dan berbelanja di pasar.

 

Kepasrahan dan keistiqamahan para Ahlussufah ini lanjut Kiai Miftach membuahkan hasil setelah mereka lulus dan terjun ke masyarakat. Seperti Abu Hurairah yang akhirnya menjadi Gubernur di Bahrain dan menjadi orang yang kaya raya. Ahlussuffah lainnya juga sukses dan menjadi orang yang kaya dengan posisi penting.

 

Oleh karena itu, Kiai Miftach berpesan kepada jamaah untuk senantiasa mengirimkan putra-putrinya ke pesantren dan tidak perlu khawatir terhadap rizki dan masa depan mereka. Orang tua menurutnya, malah harus khawatir jika putra-putrinya nanti tidak mengenyam pondok pesantren yang akan jauh dari nilai-nilai agama di masa depannya.

 

Asal Usul Ahlusshuffah
Dalam artikel NU Online Mengenal Ahlusshuffah: Penghuni Serambi Masjid Nabawi, disebutkan bahwa mulanya kaum Anshar masih mampu menanggung kebutuhan hidup dan tempat tinggal kaum Muhajirin yang datang ke Madinah sebelum dan sesudah Rasululah saw, hingga orang-orang yang datang sampai berakhirnya periode pertama perang Badar. Namun setelah itu, ketika arus hijrah semakin besar, kaum Anshar tidak lagi mampu menampungnya, sehingga mereka tinggal di ash-Shuffah.


Menurut para sejarawan, setiap orang yang hijrah ke Madinah, biasanya menemui Rasulullah saw terlebih dahulu. Kemudian beliau arahkan kepada orang Anshar yang dapat menjamin hidupnya. Jika tidak ada yang bisa menjamin, lalu Rasulullah saw mengarahkannya untuk tinggal di ash-Shuffah sementara waktu sampai menemukan jalan keluar. 


Untuk memenuhi kebutuhan nafkah Ahlushuffah, Rasulullah menempuh cara-cara di antaranya memberikan sedekah yang didapatkannya kepada Ahlusshuffah, sementara beliau sendiri tidak menikmatinya sama sekali. Jika ada hadiah yang beliau terima, beliau akan menikmatinya bersama mereka.

 

Rasulullah saw juga sering mengajak Ahlusshuffah untuk ikut makan di rumah istri-istri beliau. Bahkan Rasulullah saw selalu mendahulukan mereka. Rasulullah saw juga selalu mengarahkan para sahabat untuk selalu bersedekah kepada Ahlusshuffah.