Internasional

Kehangatan Ramadhan di Madrid Bersama Keluarga Indonesia

Kam, 28 Maret 2024 | 14:30 WIB

Kehangatan Ramadhan di Madrid Bersama Keluarga Indonesia

Momen buka puasa bersama keluarga Indonesia di Madrid, Spanyol. (Foto: dokumen pribadi)

Ramadhan tahun ini adalah ramadhan pertama bagi kami di Negeri Matador, Spanyol, tepatnya di ibu kota Madrid. Tentunya, ada nuansa baru dengan segala perbedaan zona waktu, budaya, kuliner hingga cuaca di benua Eropa ini. Namun, hal itu tidak menyurutkan kami untuk meraih keberkahan berpuasa di bulan Ramadhan dan semangat untuk mempersiapkannya dengan baik.  

Zona waktu yang berbeda

Jadwal ramadhan kali ini akan melalui 2 zona waktu yaitu menggunakan waktu Central European Time (CET) pada ramadhan pertama hingga ramadhan ke-20 dan waktu Central European Summer Time (CEST) pada ramadhan ke-20  hingga terakhir. Jika menggunakan CET, zona waktu di Indonesia 6 jam lebih cepat dibandingkan di sini. Itu artinya ketika waktu menunjukkan pukul 08.00 pada Selasa, 26 Maret, di Madrid, saat itu pukul 14.00 di Indonesia.


Namun, jika menggunakan CEST, zona waktu di Indonesia 5 jam lebih cepat dibandingkan di Madrid. Perbedaan waktu yang mencolok dengan waktu di Indonesia ini, membuat kami cukup terkejut dalam menjalani puasa, terutama anak-anak. Bagaimana tidak, ketika di Indonesia terbiasa imsak pukul 04.40 WIB dan magrib pukul 18.05 WIB, di sini waktu imsak terjadi pada pukul 06.00 CET dan magrib pukul 19.20 CET atau imsak terjadi pukul 06.29 CEST lalu maghrib terjadi pukul 20.40 CEST.


Kami beruntung karena puasa tahun ini terjadi saat pergantian musim dingin menuju musim semi sehingga durasi berpuasa masih sama dengan Indonesia yaitu berpuasa selama 14 jam. Berbeda halnya jika puasa terjadi pada saat musim panas yaitu antara Juni sampai September untuk tahun 2024 ini, maka durasi berpuasa menjadi lebih lama yaitu 16 hingga 17,5 jam. Sungguh menantang bukan?


 

Diaspora menikmati takjil bersama di KBRI. (Foto: dokumen pribadi)

Budaya ramadhan di Madrid

Sayangnya tahun ini Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Madrid tidak menyelenggarakan Fiesta de Ramadhan seperti pada tahun 2015 lalu. Fiesta de Ramadhan merupakan jamuan bersama untuk menyambut datangnya bulan ramadhan seperti halnya Munggahan di Jawa Barat, Nyadran di Jawa Tengah, Meugang di Aceh, atau Megibung di Bali, dan tradisi unik menyambut Ramadhan di berbagai daerah di Indonesia lainnya.


Namun, tahun 2024 ini, KBRI akan selalu menggelar buka puasa bersama setiap weekend selama sebulan lamanya untuk para diaspora Indonesia sebagai ajang silaturahim. Para perantau dari Indonesia diajak untuk mendengarkan kajian bersama, menikmati takjil, shalat maghrib berjamaah, makan besar lalu dilanjut dengan shalat isya dan shalat tarawih berjamaah dengan jumlah 8 rakaat.


Tak hanya di KBRI, diaspora Indonesia juga bisa mencoba berbuka puasa di Masjid Centro Cultural Islamico de Madrid (CCIM) yang digelar terbuka setiap hari selama ramadhan. Masjid yang dikenal dengan sebutan M30 ini didirikan oleh Raja Fahd dari Arab Saudi sejak 1987. Kami kerap kali berjumpa para Muslim dari Arab, Maroko, Afrika maupun Asia.


Suara azan masjid M30 sangat mengobati kerinduan kami sebagai minoritas muslim di sini. Masjid M30 juga menyediakan takjil, menggelar shalat maghrib berjamaah dengan lantunan ayat suci yang merdu dengan gaya khas Arab, makan besar bersama dan tarawih berjamaah dengan durasi shalat hampir 2 jam lamanya.


Belum lengkap rasanya jika kami belum mengadakan buka puasa dengan beberapa keluarga terdekat Indonesia di Madrid. Biasanya kami bergiliran sebagai tuan rumah dengan jamuan sederhana aneka masakan Indonesia seperti bakso, sup iga, ayam bakar, bistik, sambal goreng kentang, aneka tumis sayur, sambal dan tentu saja nasi putih atau nasi liwet.


Tak hanya itu, tamu keluarga juga biasanya membawa sejumlah makanan pendamping dari rumah untuk melengkapi sajian dari tuan rumah seperti bakwan, dadar gulung, pisang aroma, risol, kolak, maupun klepon. Kami juga bisa lebih leluasa bercengkerama, bertukar cerita, berdiskusi tentang isu terkini bahkan merencanakan untuk melakukan safar bersama. Benar-benar erat, hangat dan terasa lebih santai.

 
Sajian masakan khas Indonesia di rumah keluarga Indonesia. (Foto: dokumen pribadi)
 

Tak kalah istimewa, masjid M30 juga menyediakan sajian yang terasa baru di lidah karena diadopsi dari kuliner Maroko. Ketika takjil diawali dengan kurma, air putih dan susu. Lalu saat makan besar biasanya tersedia harira (semacam sup dengan kuah tomat), roti, telur rebus, kari daging sapi yang sangat empuk disertai kurma diolahannya atau kari ayam disertai zaitun dan kue manis Chebakia (kue renyah manis dari adonan tepung terigu, dibentuk menyerupai bunga lalu digoreng dengan lapisan madu dan taburan wijen.


Selama berbuka puasa, KBRI pun menawarkan menu terbaiknya yang cukup menggoyang lidah seperti tema masakan Padang lengkap dengan kari daging, telur balado, ayam bakar, sambal, lalapan dan buah. Sedangkan menu takjil tersedia onde-onde, es dawet, pastel sayur, dan kurma. Menarik bukan.


Tetap saja, kami rindu berburu takjil seperti layaknya warga muslim di Indonesia. Para pedagang kaki lima berjejer dengan aneka ragam pilihan makanan, bahkan resto pun penuh pengunjung menjelang waktu berbuka. Rindu suara adzan yang menggema di seluruh penjuru masjid daru setiap masjid, menjelang berbuka atau suara sirine yang menandakan waktu berbuka puasa.


 

Diaspora menikmati sajian makan besar di KBRI. (Foto: dokumen pribadi)

Cuaca yang cukup ekstrem

Ramadhan tahun ini terjadi saat pergantian musim dingin menuju musim semi, sehingga perubahan suhu pun bisa sangat berbeda drastis selama seharian. Suhu pada pagi dan siang hari terasa hangat sekitar 18-24℃ dan bisa berubah menjadi dingin ketika sore menjelang malam sekitar 13-3℃. Hal ini terjadi tidak menentu, bisa jadi satu hari di hari itu terasa panas atau seharian berikutnya terasa dingin. Tak jarang, beberapa kali Madrid diguyur hujan yang membuat suasana semakin dingin.


Namun, Spanyol terbilang negara yang cukup ramah cuacanya dibandingkan negara-negara di belahan Eropa lainnnya. Orang-orang Spanyol masih bisa menikmati kehadiran matahari lebih sering ketimbang orang-orang di negara Belanda, Jerman maupun Finlandia.


Itulah tantangan kami sebagai minoritas Muslim ketika menjalankan puasa ramadhan disini. Kami mensyukuri kekurangan dan kelebihan dari setiap keadaan yang kami temui. Sebagai perantau yang jauh dari keluarga, ternyata kami masih bisa merasakan kehangatan keluarga disini bersama sesama diaspora lainnya.