Daerah

Petani di Pati Alami Kerugian: Sawah Tergenang Banjir, Harga Beras Turun Jelang Musim Panen

Jum, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB

Petani di Pati Alami Kerugian: Sawah Tergenang Banjir, Harga Beras Turun Jelang Musim Panen

Para petani sedang memanen padi yang membusuk pascabanjir di Dukuh Pondowan, Desa Purworejo, Pati, Jawa Tengah, pada Kamis (28/3/2024). (Foto: NU Online/Solkan)

Pati, NU Online

Banjir yang terjadi di Kabupaten Pati membuat para petani mengalami kerugian besar akibat sawahnya terendam banjir. Kerugian lainnya, harga jual gabah hasil panen sangat rendah. 
 

Joyo Mulyadi (75), seorang Petani dari Desa Purworejo, Pati, mengaku rugi besar akibat banjir yang menggenangi sawahnya. Bahkan diakuinya, harga beras turun menjelang musim panen. Padahal, Joyo tak punya sawah alias hanya menyewa sawah milik desa. Biaya perawatan dan hasil panen, tak sebanding. 
 

“Biaya perawatannya hampir Rp10 juta per hektar, sedangkan panen ini 50 persen saja kurang. Biasanya dapat 7,5 atau 8 ton, sekarang cuma dapat 3-5 ton. Harganya turun. Pertama, gabah tidak berkualitas. Kedua, pemerintah selalu menghancurkan harga beras ini. Kemarin, beras Rp12.500, sekarang tinggal Rp10.000,” ujar Joyo.


Joyo bilang, belum ada atensi atau perhatian dari pemerintah kepada dirinya sebagai warga terdampak banjir di Pati. Bahkan secara khusus, belum ada tindakan nyata dari pemerintah untuk menolong para petani. 


Pada tahun kemarin, Joyo mengaku telah mengajukan proposal bantuan tetapi hingga hari ini belum kunjung ada tanda-tanda bantuan yang diajukan itu akan cair.


“Tahun kemarin itu disuruh mengajukan persyaratan kepada pemerintah desa. Pakai meterai dua, habis 50. Itu saja sampai sekarang belum cair. Padahal tahun lalu banjir lebih parah. Sekarang belum ada (bantuan)," kata Joyo. 


Akibat banjir kali ini, Joyo merasa sedih dan hancur. Bahkan ia mengaku sudah bangkrut. Ia berharap pemerintah membantu petani. 


“Perasaan saya ya hancur, apalagi dua tahun ini saya sawah sewa, bangkrutlah. Beda kalau sawah sendiri. Harapan saya, pemerintah ambil beras dari petani mahal, kemudian dijual di masyarakat dengan harga murah atau disubsidi,” imbuhnya.


Sementara itu, warga Dukuh Pondowan Desa Purworejo Pati Ahmad Rofi'i mengatakan bahwa banjir membawa dampak positif sekaligus negatif bagi para petani. 


Pasalnya, tenaga fisik petani berguna untuk memanen padi. Padahal dalam keadaan normal, biasanya padi dipanen menggunakan tleser atau mesin pemanen padi.


“Banjir memengaruhi, sebagian ada yang dirugikan dan ada yang diuntungkan. Petani menjadi rugi karena biaya membengkak dan pandapatan tidak sesuai harapan, seperti kalau tidak ada banjir. Yang diuntungkan kaum buruh atau kaum pocok (tenaga kerja pertanian tradisional). Padahal kalau keadaan normal, padi akan dipanen pakai mesin,” ujarnya.