Cerpen

Malaikat di Penjuru Matahari

Ahad, 29 Mei 2022 | 11:00 WIB

Cerita Pendek Vito Prasetyo

Malam begitu dingin dan sunyi. Tulang-tulangku seakan digerogoti selimut dingin yang mengalir bersama hembusan angin malam. Tanpa terasa, pelupuk mataku membasah dan meneteskan butiran airmata. Entah sudah berapa kali, tangisan ini tertumpah menggenangi kulit wajahku. Malam terus beranjak, tubuhku terasa begitu letih saat hewan-hewan kecil melagukan syair alam, bagai sebuah kidung di penghujung malam.


Pikiranku pun terus berkecamuk, seakan mengingkari-Nya, yang tanpa henti selalu berada di sisiku. Mungkinkah Allah swt sudah lelah mendengar ratapan tangisku? Belum cukupkah, orang yang kusayangi, tempat kusandarkan diri, telah pergi dari sisiku untuk selama-lamanya? Betapa jelas ingatan ini menggumpal dalam benakku, tetapi mungkin Tuhan punya cara lain, yang sama sekali aku tidak mengerti. Ya, suamiku telah pergi selama-lamanya.


Kini aku hanya seorang diri, membesarkan buah hati kita, Aldo dan Sasya. Mereka begitu luar biasa. Mungkin aku tidak akan merasa repot untuk mendampingi Aldo, anak sulung kita. Tetapi bagaimana dengan Sasya, anak bungsu kita? Sasya sudah mulai beranjak dewasa, dan bagiku ia luar biasa dan sangat istimewa. Pertentangan batin ini terus berkecamuk dalam benakku, antara kebanggaan dan cobaan. Ataukah ini cara untukku dalam menghibur diri dari ujian hidup yang kujalani!? Aku sadar jika kodratku sebagai perempuan, tak mampu mengartikan rasa cinta-Nya hingga berkali-kali aku seperti lupa diri. 


"Astaghfirullah…." Hanya kata-kata itu yang bisa membuatku tenang.

*


Ada yang sangat mengganjal dalam benak perempuan ini. Sasya, anak bungsunya, dalam perkembangannya sedikit mengalami kelainan. Bagi lingkungan sekitarnya, Sasya dianggap mengalami keterbelakangan mental. "Ah, tidak… dia anak istimewa!!! Bahkan sangat istimewa.” Perempuan itu terus menentang pikirannya sendiri. Dalam kegelisahannya, perempuan itu memanjatkan doa. 


"Ya Tuhan, berikanlah kekuatan padaku, agar aku bisa melewati hari-hari yang sulit ini." Hanya itu yang bisa dilakukan perempuan itu, sejak kepergian suaminya.


Satu-satunya laki-laki, yang menjadi sandaran hidupnya telah pergi selama-lamanya karena menderita penyakit. Hari-hari dilaluinya, seperti sebuah perjuangan tanpa henti, demi untuk menghidupi kedua buah hatinya. Kondisi ini menjadi semakin berat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan kedua anaknya yang mulai beranjak dewasa.  Rumah yang menjadi tempat berlindung dari panas dan hujan, lambat laun semakin memprihatinkan keadaannya. Bila saja ada badai angin, rumah yang hanya terbuat dari anyaman bambu, seakan pasrah dan menanti waktu roboh. Tak sedetik pun, perempuan itu bisa lepas pikirannya dari Sasya, yang mengalami gangguan perkembangan psikologis. Tanpa sadar, ditariknya napasnya dalam-dalam. Sasya sudah mulai tumbuh, layaknya gadis-gadis sebaya umurnya, mulai dewasa.


"Aku harus kuat dan bangkit, agar tidak semakin terpuruk."

 

*


Perempuan itu yang sehari-harinya dipanggil Ibu Murni, tak mampu menolak garisan takdirnya. Ia menjadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya. Tekad yang sudah menggumpal di dadanya membuat Ibu Murni tak lagi hanya ingin mengeluh dan menangis. Ia bekerja apa saja dengan membantu tetangga, sesuai permintaan dan kebutuhan tetangganya. Imbalan yang didapatkannya untuk membeli beras, agar mereka bertiga bisa tetap bertahan hidup. Untungnya, saat ia bekerja, masih bisa sambil menjaga anaknya, Sasya. Saat rumah mereka hampir roboh, tiba-tiba doa yang dipanjatkannya tanpa henti membuka mata Ibu Murni. Dia begitu yakin, bahwa memang Tuhan tak pernah tidur. 


Siang itu, Ibu Murni seakan tidak merasakan panasnya terik matahari. Seorang yang diutus oleh Kepala Desa datang ke rumah Ibu Murni membawa kabar gembira. Seorang lelaki, yang ternyata perangkat desa, menghampiri Ibu Murni.


"Apa benar ini rumah Ibu Murni?" sapa lelaki itu setelah mengucapkan salam.


"Iya betul, Pak," jawab Ibu Murni sambil mempersilakan lelaki itu. 


Ruang tamu yang begitu kecil, dan hanya ada sebuah kursi seakan tidak layak untuk menerima tamu. Ruang tamu itu tampak begitu semrawut dan lusuh. Dada Ibu Murni bergemuruh begitu kencang. Pikirannya bertanya-tanya, apa gerangan hingga Kepala Desa mengutus perangkatnya datang menemuinya. 


Setelah percakapan yang cukup lama antara perangkat desa dan Ibu Murni, bagai mendapat durian runtuh, Ibu Murni seakan tidak percaya atas apa yang telah disampaikan oleh perangkat desa kepadanya. Semalam ia tidak bermimpi, antara percaya dan tidak, apakah Tuhan telah mendengar rintihan doanya. Rumah Ibu Murni akan segera direnovasi. Tanpa disadarinya, butiran air mata menggenangi kedua pipinya. Dipandangnya kepergian perangkat desa itu, berdiri di depan pintu rumahnya. Lambat laun perangkat desa itu menghilang di kejauhan pandang Ibu Murni. Ia betul-betul tertegun, hingga bingung harus berbuat apa.


Seiring waktu berjalan, langit seakan memancarkan dua sinar matahari. Dalam benak perempuan itu, mungkin dua malaikat juga berdiri disana. Dua matahari yang melambangkan kedua anaknya, Aldo dan Sasya. Dan waktu pulalah yang mengingatkan perempuan itu, bahwa anak sulungnya kini sudah betul-betul menjadi lelaki dewasa dan sudah saatnya untuk menikah. Dalam benaknya, ia membayangkan pasti akan ditinggalkan oleh anaknya setelah menikah. Setelah anak sulungnya menikah dan memutuskan untuk bekerja di luar kota, perempuan itu harus hidup berdua dengan anak perempuannya, Sasya. Sekali lagi ia meneteskan airmatanya, meski di antara butiran airmata itu adalah airmata bahagia.


Rumah yang telah diperbaiki dan menjadi layak untuk ditempati, adalah hiburan Ibu Murni dan anaknya untuk bercengkerama. Meski kecil, tetapi seperti ada dua malaikat yang tiap hari menyinari pandangannya. Ia tak henti-hentinya bersyukur, betapa tidak!? Semua perbaikan rumah ditanggung oleh desa, termasuk bahan bangunan dan tukang. Tetapi saat seperti ini, ia seperti kehilangan seorang malaikat. Ia harus tegar, karena Aldo memang sudah saatnya untuk menentukan nasibnya sendiri.


Lamunan Ibu Murni tersentak, tatkala seorang yang berseragam memasuki latar halaman rumahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. 

 

"Ada salah apa dengan keluargaku?"


Tetapi lelaki yang berseragam dengan santai dan tenang menjelaskan maksud kedatangannya. Ia diutus Kepala Desa untuk menyampaikan surat undangan buat Ibu Murni untuk datang besok pagi ke kantor desa. Masih saja perasaan Ibu Murni tidak tenang dan gelisah, sesaat lelaki tadi yang ternyata perangkat desa, meninggalkannya.


"Saya salah apa hingga dipanggil ke kantor desa!? Apakah anak saya sudah sudah melakukan kesalahan!?" Pertanyaan itu berulang kali diucapkannya, seakan bertanya kepada dirinya sendiri.


*


Malam terasa begitu panjang bagi Ibu Murni. Tidak seperti malam-malam biasanya, dilewatinya dengan perasaan tenang dan begitu naik ke kasurnya, matanya langsung mengantuk berat. Beban penat tubuhnya seakan ditumpahkannya di kasurnya, setelah seharian begitu lelah bekerja. Karena beban pikiran yang dirasakannya, akhirnya Ibu Murni tak kuasa menahan rasa kantuknya. Hampir tengah malam, matanya betul-betul terpejam.


Tak terbayangkan bagaimana perasaan Ibu Murni ketika beberapa bulan lalu, rumah yang ditempatinya mendapat perhatian dari pemerintah desa. Setelah menempati rumah yang telah direnovasi, malam-malam dilaluinya dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan. Kedua anaknya, betul-betul bagaikan malaikat yang mendampingi mimpinya di malam hari. Tetapi esok apakah ada sinar cahaya terang yang menyelinap masuk ke rumahnya?


"Entahlah!" kata-kata itu yang dibawanya pada peraduan mimpi malam ini.


Suara ayam berkokok telah membangunkan Ibu Murni. Ia masih merasa letih, tetapi langsung bergegas mengerjakan rutinitas yang biasa dikerjakannya mulai subuh hingga cahaya pagi menyambut senyumnya. Ibu Murni hanya pasrah, apa yang akan terjadi semua pasti sudah direncanakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Perasaan yang gelisah, ia coba menepisnya. Ia siap berangkat ke balai desa, tak lupa menitipkan Sasya kepada tetangganya, meski Sasya di dalam rumah terkunci. Ia bergegas agak pagi ke balai desa, karena jaraknya yang lumayan jauh.


Di balai desa sudah berkumpul orang banyak. Kursi-kursi berjejer rapi. Ternyata banyak ibu-ibu juga yang diundang. Bukan hanya Ibu Murni, dan itu membuatnya lega, mengusir perasaan gelisah yang membuat tidurnya tidak nyenyak semalam. Ia baru menyadari setelah acara dimulai, seorang perempuan berparas cantik menjelaskan panjang lebar tentang program pemerintah untuk membantu masyarakat perempuan yang tidak mampu. Selintas bayangan Sasya menari-nari di pelupuk mata Ibu Murni.


"Apa yang bisa dilakukan oleh Sasya!?"


Perempuan berparas cantik itu adalah utusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Panjang lebar dijelaskannya kepada undangan yang hadir, termasuk Ibu Murni. Dalam bayangannya seperti melintas angin sejuk. Ia akan menerima bantuan, tetapi usaha apa yang bisa dilakukannya? Karena bantuan yang akan diterimanya untuk modal usaha. Setelah tanya jawab berlangsung, akhirnya Ibu Murni memperoleh jawaban yang betul-betul melegakan hatinya. Ya, Sasya bisa membantunya untuk mencari rumput buat makan ternak. Ibu Murni merasa yakin bahwa ia mampu untuk usaha ternak, tanpa selalu dikejar bayangan keselamatan bidadarinya, Sasya. Tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukurnya.


Perempuan cantik itu bagai malaikat yang datang dalam kehidupan Ibu Murni. Kabar gembira ini seakan tak sabar untuk disampaikannya ke anaknya. Sepanjang perjalanan pulang, sinar matahari seperti membelah dua, meniriskan sayap-sayap cahayanya yang memayungi kepala Ibu Murni.

***

Vito Prasetyo dilahirkan di Makassar, 24 Februari 1964. Bertempat tinggal di Kabupaten Malang. Pernah kuliah di IKIP Makassar. Bergiat di penulisan sastra sejak 1983, dan peminat budaya. Tulisannya tersebar di berbagai media.